Membangun Kesejahteraan lewat Spinoff Perguruan Tinggi


Saat ini dunia begitu tertarik pada translasi teknologi hasil riset perguruan tinggi ke arah pengembangan ekonomi melalui kewirausahaan. Komersialisasi teknologi mampu menjadi salah satu akselerator laju perekonomian, terbukti dari dampak penciptaan nilai yang sangat signifikan dari perusahan-perusahaan hi-tech spinoff perguruan tinggi.

Spinoff perguruan tinggi, sebuah perusahaan baru yang dibangun oleh civitas akademika untuk mengeksploitasi teknologi hasil-hasil riset perguruan tinggi memang telah menjadi fenomena global. Massachusett Institute of Technology (MIT) menghasilkan 134 perusahaan spinoff dalam kurun waktu 1980-1996, dengan 24 perusahaan (sekitar 18 persen) mencapai go public. Di US, sebanyak 3376 perusahaan spinoff didirikan antara tahun 1980 hingga 2000. Di UK, akselerasi spinnoff universitas terjadi di akhir 1990-an ketika sejumlah institusi mulai membangun pusat lisensi teknologi (technology licences officer- TLO). Di Asia, Jepang telah membuat peraturan tentang HKI yang lebih kondusif untuk transfer teknologi.

Strategi mendapatkan non-tuition fee melalui penciptaan spinoff telah mengantarkan sejumlah perguruan tinggi sukses membangun research university sekaligus menjadi sumber kesejahteraan. Namun, mengapa masih sangat langka diterapkan di perguruan tinggi Indonesia. Mengapa pula sebagian perguruan tinggi sangat produktif menghasilkan spinoff sementara yang lainnya tidak?.

Tahun lalu saat saya diminta membawakan bahan diskusi bagi para pengelola inkubator perguruan tinggi di wil kopertis IV Jabar, saya angkat topik ini. Sebagain besar peserta sangat tertarik, beberapa menyatakan baru mendengar istilah spinoff (atau spinout). Untuk keperluan itu, saya sempat melakukan riset kecil tentang penciptaan spinoff di beberapa perguruan tinggi. Dalam kesempatan saya bagikan resumenya disini.

Definisi Spinoff University
Spinoffs University (Spinoff perguruan tinggi) yang dimaksud dalam bahasan ini mengacu pada definisi Scott Shane, yakni perusahaan baru yang dibangun atas prakarsa civitas perguruan tinggi (baik dosen, staff atau mahasiswa), yang mengeploitasi intelektual property (HKI) atas hasil-hasil penelitian dan pengembangan dari perguruan tinggi terkait. Spinoff perguruan tinggi berfokus pada komersialisasi teknologi hasil temuan (invensi) perguruan tinggi. Jadi dalam pembahasan ini perusahan-perusahaan sekalipun diprakarsai oleh perguruan tinggi, yang tidak berbasis teknologi perguruan tinggi bukanlan termasuk kategori spinoff perguruan tinggi. Seperti halnya perusahaan yang bergerak dalam real estate/ property yang dibangun sejumlah universitas, bukan termasuk dalam kategori spinoff universitas.

Beberapa contoh perusahaan teknologi ternama, seperti Cirus Logic perusahaan semikonduktor, Lycos dan Google perusahaan mesin pencari internet, dan Genetech perusahaan biotechnology, adalah spinoff perguruan tinggi yang didirikan untuk mengeksploitasi HKI di sejumlah perguruan tinggi Amerika.

Dampak Ekonomi
Sejumlah peneliti mengestimasi dampak ekonomi spinoff akademik Amerika melalui penghitungan nilai tambah finansial spinoff, hasilnya relatif sangat besar. Menurut Association of University Technology Managers, selama 1980-1999 spinoff akademik Amerika telah menghasilkan USD 33,5 milyar. Artinya rata-rata, perusahaan spinoff perguruan tinggi Amerika memberikan nilai tambah ekonomi sebesar USD 10 juta.
Golman (1984) juga mencatat 72 persen perusahaan hi-tech di area Boston pada awal 1980an menggunakan basis teknologi yang awalnya dikembangankan di laboratoium-laboratorium MIT.

Faktor Pemengaruh
Disisi lain, mengapa aktivitas pembangunan spinoff di lingkungan perguruan tinggi di Indonesia masih sangat minim. Tidak suburnya spinoff perguruan tinggi di Indonesia bukan semata disebabkan ekosistem yang ada. Generalisasi seperti itu mudah dipatahkan oleh banyaknya bukti bahwa di negara yang sama, ekosistem yang sama, sejumlah perguruan tinggi tetap produktif menghasilkan spinoff, sementara sebagian besar lainnya tidak. Penelitian Kenney and Goe mengungkapkan mengapa spinoff bidang komputer sians di Stanford University lebih banyak dibandingkan dari Berkeley University.

Selain ekosistem, sejumlah kondisi internal perguruan tinggi perlu diidentifikasi sebagai faktor yang mempengaruhi laju produktifitas spinoff, antara lain kebijakan perguruan tinggi, keberadaan dan kapasitas unit Technology Licences Officer (TLO), jejaring dengan startup, dan keberadaan entrepreneur faculty member.

Kebijakan Perguruan Tinggi
Ada beberapa kebijakan perguruan tinggi yang terkait langsung dengan aktivitas penciptaan spinoff. Pertama, kebijakan tentang fleksibilitas tenaga akademik untuk berinteraksi dengan dunia industri. Umumnya perguruan tinggi di Indonesia tidak memberikan ijin bagi anggota civitasnya untuk tinggal sementara di industri. Toleransi perguruan tinggi atas hal ini berkorelasi pada keterbukaan dan kepekaan civitas akademik terhadap kebutuhan industri. Rigidnya aturan tenaga akademik untuk masuk ke area industri menjadi penyebab sedikitnya tenaga akademik yang berhasil mendapatkan invensi yang benar-benar diinginkan industri.

Kedua, kebijakan atas pengaturan royalti. Kebijakan Bayh-Dole Act atas pengaturan royalti di Amerika, terbukti mengakselerasi transfer teknologi dan komersialisasi hasil riset. Umumnya perguruan tinggi kita belum menaruh perhatian pada persoalaan tindak lanjut HKI dan invensi. Sebagian besar unit PPM masih gagap untuk menangani persoalan pembagian royalti, sharing equity atau penjualan lisensi atas hasil invensi.

Alokasi sumber daya
Alokasi sumberdaya manusia dan dana menjadi faktor pengaruh tingkat keberhasilan penciptaan spinoff. Perguruan tinggi yang menghasilkan lebih banyak spinoff, umumnya memberikan sumberdaya lebih banyak pada upaya lisensi teknologi.

Dengan keterbatasan pos anggaran komersialisasi teknologi, umumnya perguruan tinggi tidak memiliki petugas lisensi teknologi dengan keahlian yang memadai, sehingga menghambat pertumbuhan spinoff. Untuk memulai perusahaan teknologi tinggi dibutuhkan seperangkat ketrampilan yang berbeda dibanding dengan melisensi teknologi kepada perusahaan yang sudah mapan. Singkatnya, untuk menciptakan spinoff, bagian lisensi teknologi membutuhkan petugas yang ahli dalam mengevaluasi pasar, membuat rencana bisnis, akses modal ventura, mengelaborasi tim startup, mendapatkan ruang kantor dan peralatan, serta uji beta produk (Golub, 2003).
Perguruan tinggi yang memiliki petugas yang sangat familiar dengan permasalahan tersebut, akan efektif dalam menciptakan spinoff.

Keterhubungan dengan jejaring startup
Berbagai hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa laju aktivitas spinoff perguruan tinggi akan menigkat seiring dengan peningkatan keahlian petugas lisensi untuk bekerjasama dengan para startup. Relasi bagian lisensi teknologi yang lebih baik pada jaringan startup akan mendukung keberhasilan proses penciptaan spinoff. Sebagai contoh, laju penciptaan spinoff di New York University meningkat setelah petugas lisensi teknologi memberikan pendampingan kepada startup, seperti membantu dalam perancangan bisnis pada lisensi terkait (Golub, 2003).

Keberadaan Anggota Fakultas Entrepreneur
Keberadaan anggota civitas akademik yang berkiprah sebagai entrepreneur teknologi turut menjadi faktor penyebab tinggi rendahnya laju produktifitas spinoff. Mereka akan memberikan warna bagi civitas tentang komersialisasi teknologi.

Lokasi Geografis
Pada akhirnya memang lokasi geografis perguruan tinggi berpengaruh dalam pengembangan spinoff oleh karena lingkungan ekonomi, hukum, dan budaya yang lebih mendukung dari perguruan tinggi lainnya (Georgi dan Shane, 2003). Terkait lokasi, sejumlah faktor terkait yang turut mempengaruhi aktivitas penciptaan spinoff, yaitu keberadaan venture capital dalam lingkungan terkait dan ekosistem industri.

Daftar tersebut merupakan “sebagaian” faktor pemengaruh laju penciptaan spinoff. Perihal apa keuntungan membangun spinoff selain royalti bagi peneliti dan kepemilikan saham bagi perguruan tinggi, insyaallah akan saya sampaikan pada kesempatan lain

Bagaimana memulai?
Sesungguhnya pertanyaan ini relevan untuk sebagain besar perguruan tingggi di Indonesia yang pada umumnya belum meletakkan fondasi untuk tujuan ini. Namun pertanyaan ini tidak relevan bagi Tel U, kenapa?. Karena bagi Tel U kesempatan untuk mewujudkan perguruan tinggi dengan basis non-tuition fee dari penciptaan spinoff sudah “bootstrap”, bukan dari titik nol lagi. Kelahiran BTP awalnya memang dirancang untuk tujuan komersialisasi hasil riset. PT Telkom sebagai perusahaan induk telah dipaksa oleh situasi kompetisi bisnis Dico yang salah satu basis kekuatannya pada ketersediaan ekosistem startup. Tel U adalah basis komunitas iptek yang sangat besar. Untuk itu strategi “open innovation” jika diterapkan akan menjadi kekuatan baru bagi Telkom.

Keberadaan Tel U, BTP, dan PT Telkom adalah saling menggenapi untuk mewujudkan role model penciptaan spinoff perguruan tinggi di Indonesia. Sebuah kondisi dimana non-tuition fee bisa bekerja secara berkelanjutan (long-term) bukan project-based dan secara nyata mewujudkan kesejahteraan. Namun, semua kembali pada para stakeholder dalam menyikapi opportunity ini. Benih sudah ditanam, dibutuhkan keahlian, kesabaran dan kebijaksanaan untuk menjadikannya besar.

Salam,
IwanIwut

Insight :
“Bekerjakeraslah, tanamlah benih, dan beristirahatlah. Jangan terikat dengan hasilnya, serahkan pada Semesta. Membuka paksa kuncup bunga yang sedang mekarpun akan membunuhnya.” (filosofi petani – iwaniwut).

,

Leave a Reply