Kekuatan Tekad atau IQ?


Belakangan ini cukup banyak saya mendapatkan artikel/tulisan hasil penelitian terkait  topik “will power” (kekuatan tekad).  Meski sebelumnya kita sudah mahfum, bahwa kekuatan tekad terbukti lebih berperan dominan dalam pencapaian sukses seseorang di dunia bisnis atau lingkungan kerja, ketimbang IQ.  Tapi sejumlah hasil penelitian yang saya baca belakangan bercerita lebih dari itu, bahwa kekuatan tekad juga sangat dominan dalam menggambarkan prestasi akademik siswa melebihi kontribusi IQ.

Penelitian yang tergolong awal tentang will power ini dilakukan oleh para ilmuwan di Stanford.  Mereka mengamati sejumlah anak-anak berumur 4 tahunan, yang diberikan kue di sebuah ruang tertutup dengan cermin searah.  Peneliti memberikan instruksi kepada anak-anak tersebut, mereka boleh langsung memakan jajanan tersebut atau jika mereka mau menahan diri untuk tidak makan jajanan tersebut selama beberapa menit, mereka akan mendapatkan 2 potong kue.

Saat peneliti keluar ruangan dan mengamati dari cermin satu arah, sebagian besar anak-anak langsung  meraup dan melahap kue tersebut.  Hanya 30 persennya yang ketika peneliti kembali, sekitar 15 menit sesudahnya, masih menahan diri.  Akhirnya mereka memang dihadiahi dua kue.  Proses tindakan me-“regulasi diri” dengan menahan keinginan untuk tidak mengambil kue ini oleh peneliti dikaitkan dengan kekuatan tekad.  Beberapa tahun sesudah itu, peneliti menghubungi dan mempelajari kehidupan anak-anak tersebut saat mereka sedang duduk di bangku SMA.  Mengamati nilai, skor SAT, kemampuan menjada pertemanan dan kemampuan menghadapi masalah-masalah besar.

Temuan yang paling pokok dari penelitian ini adalah, anak-anak yang masuk kelompok 30% yang menahan diri tercatat memiliki rata-rata sekor SAT 210 lebih tinggi dari kelompok lainnya. Mereka lebih populer, dan lebih sedikit terjerumus narkoba.

Penelitian di University of Penninsylvania menganalisis 164 pejalar kelas delapan, mengukur IQ, dan beberapa indikator lain, termasuk besar kekuatan tekad yang diukur dengan tes-tes sebagaimana dikembangkan di ranah psikologi.  Hasilnya menunjukkan bahwa siswa dengan kekuatan tekad yang tinggi tercatat lebih teratur dalam mengatur waktu untuk belajar, lebih sedikit menonton TV dan mengerjakan PR lebih rajin, berkesempatan mendapatkan nilai lebih baik dan diterima disekolah lanjutan yang lebih selektif, dibandingkan siswa lain dengan IQ lebih tinggi tapi kurang mengembangkan kekuatan tekad.

Meski awalnya bidang ini tidak menarik bagi sebagian besar peneliti, namun akhirnya topik kekuatan tekad ini telah menarik minat ratusan peneliti dari berbagai universitas.  saat ini penelitian topik ini sudah sangat banyak. Hasil penelitian seolah menggambarkan bahwa kekuatan tekad dapat memberikan penjelasan yang lebih baik atas prestasi akademik siswa, ketimbang IQ.

Bagaimana peran “will power” dalam dunia bisnis?
Tidak diragukan lagi, bahkan Napoleon Hill sudah lebih dulu mengungkap rahasia ini dalam penelitiannya dari wawancara yang dia lakukan kepada orang-orang sukses pada masanya. Termasuk Thomas Edison, Henry Ford, Andrew Cornigie  (yang memberikan inspirasi kepada Napoleon Hill untuk proyek penelitian ini) dan konglomerat lain semasanya.  Napoleon Hill menempatkan will power pada urutan pertama sebagai komoditas yang dimiliki oleh semua responden yang dia wawancarai.  Hasil penelitian yang dibukukan dalam Think and Grow Rich itu  sampai saat ini menjadi buku best seller legendaris dalam sejarah dunia penerbitan.  Terjual lebih dari 15 juta kopi.

Di era ini, banyak perusahaan yang menjadikan kurikulum pelatihan will power sebagai fondasi sukses perusahaan.  Starbuck misalnya, disebut-sebut sebagai perusahaan yang paling banyak memberikan pelatihan will power ini, telah menginvestasikan jutaan dollar untuk meberikan training kepada 100 ribu lebih karyawannya. Para eksekutif diminta membuat panduan yang dapat menjadi acuan para pekerjanya untuk menjaga kekuatan tekad dalam bekerja.  Starbuck telah menjadi sekolah bagi ratusan ribu orang untuk mendapatkan apa yang tidak pernah mereka dapatkan di bangku sekolah.

Lalu, seberapa jauh para peneliti mampu menjelaskan tentang kekuatan tekad ini.  Pertanyaan-pertanyaan seperti : apakah kekuatan tekad itu bisa dilatih?.  Jika bisa, bagaimana cara melatihnya?, tentu menggelayut dalam benak saya dan Anda.
Ternyata para penelitipun sudah mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Namun, sebelum saya paparkan hasil riset tersebut, saya akan sampaikan hasil pengamatan amatir pada mahasiswa saya.

Potret Buram Mahasiswa Tel-U
Saya bukan ahli di bidang ini.  Bahkan tidak tahu bagaimana mengukur kekuatan tekad seseorang secara akurat dengan serangkaian tes atau alat lainnya. Saya hanya sangat penasaran untuk mengetahui tingkat kekuatan tekad mahasiswa di kelas yang saya ajar.  Akhirnya saya lakukan menurut cara saya.  Oleh karenanya potret yang saya dapatkan saya sebut sebagai potret buram, karena dilakukan secara amatir.  Sekali lagi bukan mengambarkan kondisi mahasiswa, tapi tepatnya saya bukan fotografer ahli dalam kegiatan memotret ini.

Saya memberikan tugas “programing sederhana” di pertemuan kedua MK Pengolahan Sinyal Digital (PSD), yang memang tidak lumrah.  MK PSD tidak memiliki Tujuan Pembelajaran menjadi mahir dalam programing, tapi jika peserta punya skill tersebut akan sangat membantunya dalam mendalami materi kuliah.  Dan faktanya saat praktikum mereka akan terpaksa menggelutinya, dan skill tersebut diperlukan untuk mengerjakan Tugas Akhir nantinya.

Saya katakan tugas tersebut tidak dikumpulkan tapi sebagai bahan untuk menjelaskan materi selanjutnya.  Jika mereka mengerjakan dengan baik, mereka akan lebih paham dan punya bekal untuk membantu pembelajaran mereka selanjutnya, demikian saya memberi harapan.  Hasilnya, hanya 3 orang yang mengerjakan tugas “programming sederhana”, yang tidak dikumpulkan itu.  Selanjutnya saya meminta bagi mhs yang belum mengerjakan wajib untuk menyelesaikan dalam waktu 1 minggu dan dikumpulkan via email.  Saya mendapati, hampir 100 persen mengumpulkan ketika saya umumkan tugas tersebut dikumpulkan. Saya abaikan apakah mereka mengerjakan sendiri atau mencontek, tapi saya menyimpulkan mereka tidak sungguh-sungguh dalam belajar.

Saya kembali memberikan tugas programming untuk persolaan yang sedikit lebih kompleks, dalam hal ini materi/algoritma sistem belum saya jelaskan. (Sistem IIR, jika Anda dosen PSD).  Kira-kira 5 orang mengaku mengerjakan, tapi tidak selesai. Selebihnya tidak mencoba mengerjakan.

Saya juga mencoba memeriksa catatan kuliah mereka sambil lalu.
Saya dapati, sebagian besar mereka tidak mencatat penjelasan2 saya dengan lengkap.  Padahal saya sudah sampaikan diawal perkuliahan, bahwa metoda pembelajaran yang saya gunakan lebih dominan saya menulis bagian-bagian yang saya anggap penting.  Sangat sedikit sekali menggunakan slide.  Harapan saya para masiswa akan membaca lengkap di buku referensi untuk mengkonstruksi kembali sketsa-sketsa saya di papan tulis.  Terbukti mereka (hampir seluruhnya) tidak bisa menyelesaikan persolan, yang  “persis/sama” persoalan yang saya jelaskan solusinya di akhir kuliah minggu sebelumnya. Dari pemeriksaan sambil lalu itu, hanya 2 orang dari 38 orang yang mencatat kuliah minggu sebelumnya secara tuntas.

Meski itu adalah pengamatan amatir, sedikitnya bisa memberikan potret, tentang bagaimana “kekuatan tekad” mahasiswa kita.  Jika dihubungkan dengan kebutuhan kompetensi lulusan, sebagai faktor daya saing lulusan, maka persoalan rendahnya kekuatan tekad mahasiswa menjadi masalah yang serius.

Barangkali bagi kebanyakan dosen, lebih menarik untuk membicarakan persoalan potensi intelektual (IQ) mahasiswa kita.  Misalnya, mereka “tidak bisa” mengerjakan ini dan itu.  Namun, setelah mencermati hasil2 penelitian terkait kekuatan tekad, saya lebih tertarik untuk berdiskusi dari pengamatan atas “kemauan” mereka untuk “MENGERJAKAN” ini itu.  Saya kira meminta mereka mengerjakan sesuatu, akan lebih melatih otot kekuatan tekad mereka, bukan sekedar menguji kecerdasan intelektualnya.

(Usulan : saya sangat berharap topik-topik seperti ini menjadi bahan kajian serius di Tel-U, secara disiplin ilmu kita sudah meluas. Dilakukan secara profesional oleh pakar dibidangnya, dan hasilnya dimanfaatkan untuk kemajuan Tel-U)

Apakah kekuatan Tekad  bisa di latih?
Mark Muraven, bersama kelompok kandidat PhD lainnya di Case Western berusaha menjawab pertanyaan tersebut.  Mereka menolak jika kekuatan tekad itu dipandang seperti ketrampilan.  Jika anda bisa menyetir mobil hari ini, maka minggu depan Anda pasti bisa menyetir juga, itulah karakter dari ketrampilan.  Tapi, jika suatu sore  Anda pulang kantor dan dengan semangat berganti baju sport lalu joging karena bertekad untuk program fatloss, bisa jadi di hari lain tekad itu hilang. Demikian sifat kekuatan tekad.

Kekuatan Tekad ternyata seperti otot, bisa lelah jika digunakan secara berlebih. Namun bisa dikembangkan agar memiliki kekuatan lebih besar.  Muraven membagi dua kelompok mahasiswa menjadi dua, yang pertama dikuras kekuatan tekadnya, dan kelompok kedua diperlakukan normal. Setelah itu, mereka diberikan uji permainan semacam soal menentukan jalur yang menghubungkan 2 titik tanpa putus  (yang sebenarnya dirancang memang tidak ada jawabannya). Kelompok yang sebelumnya dikuras kekuatan tekadnya, mengerjakan soal tersebut sebagian dengan gerutuan dan umpatan, dan secara rata-rata bertahan dalam 8 menit lalu menyerah.  Kelompok yang sebelumnya diperlakukan normal mengerjakan tugas tersebut dengan relatif tenang, dan rata-rata bertahan hampir 19 menit.

Tampaknya, tipe dosen “killer” yang cukup menguras kekuatan tekad mahasiswa untuk hadir di kelas, akan menurunkan semangat mahasiswa mendalami materi ajar diluar kelas.

Latihan Kekuatan Tekad
Peneliti asal Australia, Megan Oaten dan Ken Cheng mencoba menjawab itu dengan merencanakan latihan kekuatan tekad.  Mengirimkan 2 lusin orang dari usia beragam untuk menjadi peserta Gym selama beberapa bulan.  Menjadi peserta gym berarti mebutuhkan tekad untuk berangkat berlatih, dengan tingkat latihan yang kian hari kian berat.  Pengamatan pada 2 bulan pertama, menunjukkan bukan hanya kadaan fisik mereka membaik, tapi kekuatan tekad mereka juga menyebar ke bidang kehidupan lainnya yang turut membaik.  Para peserta siswa menjadi lebih rajin, semakin sedikit waktu menonton TV,  semakin sering mereka ke gym semakin mereka mengurangi rokok.
Tidak puas dengan skema di bidang olah raga, Megan mengirim 29 orang ke lembaga pelatihan financial selama 4 bulan,  dan memberikan hasil pengamatan yang sama.  Dimana kehidupan mereka di bidang2 lainnya (selain finansial) cenderung membaik.

Hal ini membuat kita bisa mengkaitkan, kenapa mengiirm anak-anak berlatih piano, latihan beladiri, bisa meningkatkan prestasi/ disiplin diri di bidang lainnya.

Apakah ada artinya untuk Tel-U ?
Apakah hasil-hasil penelitian tersebut ada kaitan dengan kepentingan Tel-U, sepenuhnya bergantung kemana Tel-U akan menuju, dan bagaimana profil lulusan yang ingin dibentuk.  Akankah mulai membangun softskill dengan kekuatan tekad diantaranya atau masih tergoda dengan kekuatan IQ?
Saat ini sejumlah sekolah telah memasukkan program pengembangan kekuatan tekad ke dalam kurikulum mereka.  Pertanyaan besarnya adalah bagaimana mengimplementasikan gemblengan kekuatan tekad itu dalam kurikulum?
kekuatan tekad hanya akan menjadi komoditas berharga bagi lulusan, jika mereka telah terlatih menjadikan kekuatan tekad itu sebagai KEBIASAAN yang sepertinya upaya regulasi diri itu seolah terjadi otomatis, tanpa kerja keras lagi.  Bagaimana sistem pendidikan menjadikan itu sebagai kebiasaan? itulah PR nya. Menurut saya, itulah esensi membangun budaya, menciptakan kebiasaan baik yang sebelumnya tidak ada.

Salam


Leave a Reply