5 “Gap” Serius Pendidikan Tinggi


Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Pendidikan Tinggi kita. Itu kesimpulan saya selesai menghadiri FGD Penguatan Perguruan Tinggi , 17 Maret lalu, di Kemenko PMK.

FGD (focus group discussion) bertajuk Penguatan Perguruan Tinggi ini diprakarsai oleh Kemenko PMK, dipimpin langsung oleh Prof. Dr. R. Agus Sartono Deputi Menko PMK Bidang Pendidikan dan Agama, dihadiri sekitar 30 perserta yang merupakan pakar, pemerhati dan praktisi dalam bidang terkait.

Salah satu pandangan yang sangat penting disampaikan oleh Prof. Sofyan Effendi selaku ketua Asosiasi Profersor Indonesia. Pak Sofyan menyoroti adanya disconnection antara aktifitas dan luaran perguruan tinggi dengan kebutuhan masyarakat dalam 5 hal : Skill, R&D, Multidicipline, Utilitation of Knowledge, dan disconnect antara Pendidikan Tinggi dan Pendidikan Menengah.

Dalam kesempatan ini, saya coba mengkaitkan hal tersebut dalam konteks Telkom University.

Disconnection dalam penyediaan skill
Salah satu tujuan pendidikan tinggi adalah menyediakan lulusan-lulusan terdidik sesuai dengan bidang keahliannya. Bahkan dalam kasus khusus, sejumlah perusahaan/ industri akhirnya membangun perguruan tinggi yang tujuan utamanya menyediakan talent pool untuk memperkuat bidang bisnis/ industrinya. PT Telkom adalah salah satunya. Perguruan Tinggi tipe ini secara umum lebih baik dalam memberikan luaran dengan skill yang sesuai kebutuhan industrinya, dibandingkan perguruan tinggi lainnya yang lahir dengan pendekatan berbeda. Dapat kita dirasakan bagaimana warna industri telekomunikasi juga mengalir di kampus Telkom. Namun dinamika dunia bisnis/industry telco telah menyeret para pemainnya untuk berlari sangat kencang, sehingga kebutuhan skill yang dibutuhkan sebagai penyokong bisnisnya juga berubah sangat cepat. Keharusan Telkom untuk masuk bisnis dico (digital company), membutuhkan awak dengan seperangkat skil yang berbeda. Sebagai contoh, keilmuan User Experience (UX) tidak terlalu dibutuhkan saat bergulat dalam bisnis telco, tapi mutlak diperlukan pada arena dico. Sayangnya perguruan tinggi penopangnya tidak akan mampu secepat itu mengantisipasi kebutuhan ini. Untuk membuka program studi baru, dibutuhkan kesesuaian nomenklatur yang ada di Dikti, padahal di beberapa kampus di luar negeri telah membuka ini sebagai program studi baru. Regulasi telah menjadi awal persoalan gap ini. Dibutuhkan solusi-solusi kreatif dari perguruan tinggi untuk menjawab persoalan semacam ini. Bagaimana dengan PT yang tidak memiliki link khusus dengan industri?

Disconnection dalam R&D
Dengan mencermati diri kita sendiri (Tel U), sangat mudah untuk memahami kenapa secara umum aktifitas dan hasil inovasi di perguruan tinggi tidak terkoneksi dengan kebutuhan industrinya. Secara Telkom University dibangun oleh industri (PT Telkom), namun dengan jujur kita harus mengakui bahwa hampir belum ada korelasi antara hasil inovasi di kampus ini dengan kebutuhan Telkom sendiri. Setidaknya dibeberapa dekade sejak awal pendirian hal ini sangat terasa. Jadi sangat wajar jika kampus-kampus lain yang tidak memiliki kedekatan latarbelakang dengan industri mengalami hal yang lebih parah. Hal ini yang akhirnya menyebabkan pendidikan tinggi sebagai knowledge generation tidak diimbangi kemampuannya dalam utilization of knowledge.

Gap interdiciplin
Keputusan Dikti membuat aturan linearistas sangat kontradiktif dengan kebutuhan pertumbuhan jaman. Dalam hal ini Prof Sofyan (ketua API) dengan ungakapan yang keras menunjukkan kekecewaannya atas keputusan lenieritas ini. (ungkapan disensor–Red). Dalam situasi dimana sebagaian lompatan ilmu berkembang pesat dalam trans-discipline, seperti neuro-science, bio-medical engineering, natural language processing (NLP), dll koq Dikti malah memasukan ilmuwannya dalam kotak.

Gap terakhir yang masih menjadi perkerjaan besar nasional adalah kesenjangan antara Pendidikan Tinggi dan Pendidikan Menengah. Telkom Foundation memiliki ruang eksperimen yang lebih lengkap karena memiliki layanan pendidikan di semua tahap.

Dari kacamata ini, maka keputusan tansformasi menjadi Telkom University adalah tepat, karena interaksi antar disiplin menjadi lebih dimungkinkan. Namun hal ini bergantung pada Tel U sendiri untuk melanjutkan transformasinya.

Luaran Spinoff yang terlupakan
Saya sempat mengusulkan untuk meninjau regulasi tentang matrik ukuran luaran perguruan tinggi. Saya tetap konsisten dalam “mode afirmatif”, dimanapun saya akan sampaikan tentang salah satu luaran penting perguruan tinggi yang selalu terlupakan ini, yaitu spinoff perguruan tinggi. Spinoff perguruan tinggi yang selama ini terbukti berhasil mengantarkan sejumlah perguruan tinggi ternama mentransformasi dirinya menjadi 3rd generation university, mengapa tidak dijadikan sebagai salah satu strategi untuk memberdayakan perguruan tinggi di Indonesia?. Melalui spinoff (perusahaan yang diprakasrsai civitas academic dan partners untuk mengkomersilkan hasil riset dan inovasi) akan memiliki dampak berantai: memandirikan PT, meningkatkan kualitas riset, dampak ekonomi, dan menjadikan PT tetap relevan. Sayangnya aktivitas ini belum mendapat perhatian.

Salam,
IwanIwut
Seni berdiskusi adalah :
“Janganlah Anda mengkritik, kecuali sekaligus memberikan alternatif jalan keluar. Pada saat yang sama Anda harus siap untuk menerima kritikan.”


Leave a Reply